rechstaat

‘Indonesia itu Negara Hukum’. Dalam konstitusi maupun di dalam pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia, selalu saja dibangga-banggakan bahwa Indonesia itu negara hukum, yang berarti bahwa semua pergerakan dalam suatu masyarakat dianggap terawasi oleh hukum bahkan oleh berbagai kalangan ‘slogan’ ini menjadi senjata ampuh untuk menjerat maupun berperkara di meja hijau. Apabila kita pahami lebih jauh konsep hukum yang berlaku di Indonesia ini sedikit melenceng dari hakikat kita sebagai bangsa timur bahkan ‘slogan’ itu sendiri kemudian berbenturan dengan nilai musyawarah mufakat yang telah lama diagung-agungkan di negara ini. Bagaimana tidak, hukum yang akan digunakan sebagai pengawas itu ternyata hanya rangkaian huruf yang diletakan dalam pasal demi pasal, bahkan payahnya lagi dengan penggunaan sistem continental pembelajaran hukum di negara ini seakan akan hanya untuk menghafal pasal demi pasal yang berada dalam suatu peraturan perundangan. Memang menjadi suatu hal yang sangat menyangsikan ketika kita menjunjung konsep negara hukum ini tinggi-tinggi akan tetapi Indonesia hanya rule of law saja bukan rule of just law. Maka tidak salahlah jika orang mengatakan bahwa hukum itu hanya language game (permainan kata) para legislator. Bahasa yang dijadikan sarana sebagai alat pesan gagasan ternyata banyak mengandung keterbatasan, itulah sebabnya peraturan di Indonesia selalu membutuhkan komponen yang bernama penjelasan.
Von savigny juga secara terang-terangan mengkritik sistem pelaksanaan dan pembelajaran hukum yang demikian. Dalam suatu teorinya Von Savigny mengatakan bahwa hukum itu muncul, berkembang dan lenyap bersama dengan lenyapnya masyarakat. Dalam hal ini hukum yang sebenarnya adalah hukum yang berasal dari masyarakat yang Panta Rei yang didasarkan pada kokoro (hati nurani), bukan hukum yang disibukkan dengan urusan pencarian kepastian hukum, pencarian sistem yang pas, serta logika peraturan. Maka cara berhukum di negara ini hendaknya ada suatu perubahan supaya hukum itu berjalan sebagaimana mestinya guna mencapai ketertiban masyarakat yaitu dengan menggunakan siasat-siasat ilmu sosial. Hukum, pengadilan, dan sistem yang ada disekelilingnya tidak bisa dibiarkan berdiri sendiri-sendiri menurut cara yang sudah ditentukan secara kaku oleh hukum. Tembok pemisah antara hukum dan sosial itu harus diruntuhkan. Hukum harus menyerap dan mendapat pencerahan dari ilmu-ilmu sosial. Nonet dan Selznick menyebut realita yang demikian dengan istilah “The isolation of legal order” bahwa segala sesuatu yang menyebabkan hukum tidak dapat menyelesaikan problem-problem sosial yang muncul itu harus di akhiri.
Dalam usianya yang hampir 64 ini, semoga saja negeri garuda ini akan dapat berbenah diri guna menemukan titik-titik kegagalan hukum yang terdahulu serta melakukan renovasi-renovasi hukum yang telah ada sehingga tujuan hukum bahwa hukum itu untuk manusia akan terwujud tanpa mengurangi rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum itu sendiri. Serta hukum tidak lagi menjadi tajam di bawah dan tumpul di atas sehingga masyarakat yang notabene merupakan objek dari hukum itu sendiri merasa terlindungi dengan adanya tatanan hukum yang berkembang di dalamnya.

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com