my village

tak terasa sudah tinggal beberapa hari lagi kemenangan bagi kami orang muslim terselenggara. jalan antara djokja-purbalingga yang sungguh membosankan itu tlah terlewati walau penat n derita dalam mengarungi perjalanan pasti ada saja tercuat di sanubari.

hari ini september dua tujuh nol delapan, sepi tak lagi mewarnai desa kecil di lereng gunung slamet ini, hiruk pikuk kota besar seperti Jakarta sepertinya pindah begitu saja ke desa kami. sudut-sudut desa kini telah beralih menjadi tempat nangkring, berbagi seraya bersua tentang tanah rantaunya. ya, hampir 40% diantara kami adalah pengembara, mencari rupiah demi rupiah di tanah orang. memang begitulah keadaan ekonomi di desa kami, semuanya ingin serba terpenuhi walaupn mereka harus berhujan keringat untuk mencari sedikit rizki illahi di tanah nan jauh disana. tapi sayang berjuta sayang, kurang dari 10% saja diantara kami yang merambah ke tanah orang guna 'mengemis' ilmu, baik ilmu rakyat amupun ilmu tentang negara; masyarakat kami ini terkenal kolot ataupun konvensional dalam melihat segi ilmu ini. mungkin saja saudara-saudara Q ini mengenal ilmu hanya sebatas ilmu hitung, ilmu bahasa, dan klenik mungkin.

semuanya serba konvensional, pola pikir mereka sangat sederhana mereka cuma tahu kalau tujuan hidup itu hanya untuk punya banyak uang, punya istri cantik, rumah besar, tersohor di pelosok desa. mereka sama sekali tak peduli tentang apa itu belajar lewat ilmu, belajar dengan menggunakan otak bukan dengkul. sangat memprihatinkan memang hal ini bisa terjadi di suatu negeri yang telah lama merdeka dan katanya kaya akan sumberdaya alam.orang dungu di negara garuda ini sudah sangat banyak berjejal di setiap sudut daerah, mereka seakan santai saja dengan kedunguan mereka itu tak peduli akan kedunguan mereka dan seakan terlena dan bangga atas apa yang mereka sandang. semuanya apatis tak peduli atas apa yang telah terpatri di dalam sanubari mereka ini, seakan-akan disini akan dijadikan suatu negeri utopis yang tak kenal lagi dengan realita kehidupan dan pentingnya pengetahuan dalam hidup ini. cogito ergo sum yang dikenalkan oleh para materialis/realis abad pertengahan nampaknya sudah sangat pudar di desa kami, semuanya ingin glamour walaupun dalam realita hidupnya makan saja tak tercukupi.

dimana harga diri kita saat ini mungkin tak lagi bisa terjawab, materi dan angan yang selalu menaungi otak-otak ini sudah sangat susah untuk diubah. semuanya statis seperti pohon mengkudu yang ada di depan rumah q itu yang sedari dulu tak ada perubahan, ia tetap ada di tempat itu walau tahun demi tahun berganti. seperti apa yang sudah menjadi lifestyle di daerah kami.

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com